Skip to main content

Bercanda Ada Batasnya

Kabar bahagia yang harusnya disambut dengan suka cita harus berakhir dengan canggung dan rasa sedih bercampur kesal hanya karena beberapa orang tidak benar-benar paham kalimat yang keluar dari mulutnya. Kalo dipikirkan, kenapa sih harus sampe nangis. Kenapa, kenapa, kenapa? Sebelum orang lain mempertanyakan itu, aku lebih dulu mendesak diriku untuk memberikan jawaban. Seakan rasa sesak yang kurasa belum cukup kuat untukku menangis sore itu.

Beberapa kali kerap aku sampaikan, bahwa apa yang mungkin tidak begitu masuk akal bagi diri, bukan berarti hal itu tidak boleh ada pada orang lain, terutama perihal rasa. Kita tidak melulu bisa menyamaratakan rasa setiap orang. Memukul rata setiap kalimat sebagai canda, lalu tertawa, tanpa pernah melihat kembali rasa yang tersisa pada objek. 




Aku tidak tahu, apakah hanya aku dan segelintir orang yang begitu sensitif? Setelah susah payah menahan tangis, dan akhirnya pecah karena "gitu aja ngambek". Haha. Aku berusaha memberitahu dengan details penyebabku menangis, karena aku rasa itu perlu, agar pesan dari rasa sedih dan kesalku, sampai pada pelaku. Jadi tangisku tak sia-sia, ya semoga saja ada intropeksi diri dan perbaikan dari pelaku.

Tentu, respon yang ku terima, jauh dari harapanku. Si harapan yang menjadi tempatku menyambung lidah dengan segala pengalaman hidupnya di dunia, menjawab "dia sebenernya pendiam, yang dilakuin ya murni becanda". Ndilalah tangisku kian pecah, rasanya sedih sekali. Jika aku harus menjadi korban dari bicaranya orang diam. Aku tidak melihat kesetaraan. Ya, aku merasa apa yang kurasakan tidak dianggap rill.

Aku coba melihat lagi perkumpulan yang kami lakukan sebagai makhluk sosial, apa yang salah. Apakah aku juga telah turut andil dalam membuka batas-batas, sehingga mereka merasa pantas untuk bersembunyi dalam bercanda.

Oh iya, ini bukan panggung standup comedy, atau ruang-ruang produksi tawa. Jadi bukan tugasmu untuk menyusun kata tanpa arah dan terus-menerus bercanda.

Lalu, apa ukuran sebuah kalimat bisa dikategorikan sebagai candaan? Apakah mimik wajah bisa menjadi tolok ukur? Apakah penekanan pada tiap kata-kata bisa menjadi nilai?

Tidak ada yang tahu. 

Kamu boleh selalu menilai itu bercanda. Tapi, jika yang direspon orang lain bukan tawa. Itu juga sebuah kenyataan. Oh iya, jika yang disampaikan adalah pesan/nasihat, boleh ditelaah kembali, apakah kamu benar-benar tidak melampaui batasan? Apakah itu tentang pekerjaan atau urusan publik yang bisa kapan saja kamu masuki? Atau jangan-jangan kamu terlalu jauh berkomentar tentang hal pribadi seseorang.

Hidup ini bukan perkara merasa jalan yang kamu pilih sudah paling oke. Hidup ini bukan perkara merasa sudah paling benar dan tepat. Hidup ini tentang kebijaksanaan, menempatkan diri. Jika dunia hanya diisi oleh orang seperti kamu, maka hilanglah cahayanya.

Tapi, dari peristiwa menyebalkan ini aku jadi belajar dan punya satu rapalan kalimat baru. Tuhan, berikan aku kelapangan hati untuk memaafkan. Kemudian mengajak diriku, seakan hal itu tak pernah terjadi, kembali tertawa dengan batas-batas yang harus ku perjelas.
Hai! Salam kenal dariku ya. Rumi yang secara acak terkadang menulis, entah saat luang ataupun sibuk.

Comments