Skip to main content

Pergulatan Makna di Balik Peringatan 60 Tahun Wiji Thukul: Dari Sajak hingga Realitas Kemiskinan di Ibu Kota


Secara mendadak kami menghadiri Peringatan 60 Tahun Wiji Thukul di Galeri Nasional. Perjalanan menuju Galeri Nasional tak selancar perencanaan. Naik transportasi umum memang harus pandai-pandai mengatur ekspektasi, haha. Sesampainya di Galeri Nasional kami sedikit kebingungan mencari gedung yang dimaksud, setelah bertanya akhirnya kami memasuki ruangan yang sudah padat dengan orang-orang berpakaian kaos bertuliskan “orang baik tidak pilih penculik”. Tentu aku awam, bukan seorang aktivis, dulu maupun sekarang, atau sampai kapanpun. Aku hanya penggemar sajak-sajak Wiji Thukul, yang sesekali membaca sambil merekam untuk kembali aku dengarkan. Aku ingin melihat sajak-sajak itu dibacakan orang-orang yang lebih mengenal Wiji, itulah tujuanku memutuskan untuk hadir.

Mendengarkan sajak-sajak Wiji, maupun sajak-sajak yang tercipta untuk Wiji. Aku menikmati sambil berusaha memaknai, juang dari tiap aksaranya. Mendengar terus mendengar, lalu sesaat seseorang menyampaikan “jangan-jangan mereka miskin karena terlalu berharap pada pemerintah atau bergantung” dalam nikmatku, aku hanya menjawab singkat “gak gitu, itu salah!”.

Semua orang pasti memiliki banyak pandangan dan pilihan tersendiri terhadap suatu hal, begitu pula perjuangan. Ada yang harus berjuang dengan begitu gagah berani, ada pula yang siap berkompromi. Keduanya saling melengkapi. Yang paling penting adalah apa yang diperjuangkan dan untuk siapa.

Kehidupan ini barangkali memang bukan kompetisi untuk dimenangkan. Bisa jadi kehidupan adalah perjalanan mencari makna untuk terus berarti bagi sesama. Sudah pasti, sebelum sesama, ada diri sendiri yang harus mampu menikmati, entah jalan mana yang ditempuh. Entah apa yang diperjuangkan, dengan satu nilai pasti, tidak untuk menyakiti dan merugikan makhluk lainnya.

Sepertinya tidak benar-benar utuh, ada pesan-pesan pemilihan yang berusaha disampaikan. Semua orang berhak menyuarakan keyakinannya, entah itu tepat atau tidak.

Aku cukup menikmati kegiatan sore itu, kemudian kami makan malam, lalu mengelilingi Jakarta yang tak pernah ada sepinya. Menikmati angin malam, melihat terang-benderang ibu kota. Jalanan luas, trotoar tertata, fasilitas publik yang terus dibenahi. Aku mulai menghitung remaja usia sekitar 15-18 tahun, yang berkeliling membawa dua kantong besar Kerupuk Khas Palembang. Pukul 23.00 WIB, nyaris dari semua yang aku lihat, tak ada yang terjual lebih dari setengahnya. Entah dari mana asal remaja-remaja itu. Entah pukul berapa mereka akan istirahat dan menyudahi pencaharian hari itu. Terus menyusuri jalan, demi untung yang mungkin tak bisa ditukar dengan tarif dasar ojek online.

Disisi lain jalan, terlihat beberapa pemulung, beralaskan koran, tidur di atas trotoar. Memilih tempat yang minim cahaya. Terlelap nyenyak. Ada pula segerombolan orang duduk-duduk di pinggir jalan, dengan karung entah diisi dengan apa. Duduk seakan menanti sesuatu.

Untuk ukuran jarak yang kutempuh, ibu kota bisa dikatakan berhasil menutupi banyak kesedihan. Bahkan tak seberapa menggugah dari kemewahan yang bersanding langsung. Gedung-gedung, kendaraan, hiburan malam, dll.

Kemiskinan dan kepayahan untuk keluar dari lingkaran itu. Pasti ada yang benar-benar malas namun kencang dalam menuntut haknya. Tapi yang gigih belajar, mencoba sana-sini, mengikuti aturan, menjadi juara dan terbaik, tak bisa dengan mudah naik kelas. Sistem dan budaya negara ini telah mengunci banyak potensi terbaik yang dimilikinya.

Hari berganti, saat aku masih harus bicara dengan teman kuliahku di seberang pulau, pukul 01.00 pagi, dari jendela kosku, Jakarta masih saja ramai.
Hai! Salam kenal dariku ya. Rumi yang secara acak terkadang menulis, entah saat luang ataupun sibuk.

Comments