Satu, dua, tiga, mungkin ada sekitar tujuh lemari berbahan kayu jati menghiasi rumah yang dibangun puluhan tahun lalu. Satu lemari di ruang kecil di tengah rumah, di dalamnya juga ada meja rias hitam dengan kaca besar, tampak sangat antik, laci-laci penuh dengan konde. Ya, pemiliknya perempuan yang hidup di zaman konde sedang naik daun. Tiga lemari lainnya menghiasi ruang keluarga dan ruang tamu, diisi dengan pecah belah antik, mulai dari yang berukuran kecil hingga sedang, guci-guci dengan ukiran sama dan berbagai ukuran disusun rapi. Di dalam lemari yang tertutup tersimpan rapat lusinan piring dengan tanda merah dibaliknya, penanda si pemilik piring, juga album-album foto, yang menjadi saksi banyak peristiwa. Di salah satu atas lemari, berjajar piala-piala penghargaan atas kemenangan.
Bukan nilainya, yang mungkin saja mahal karena terbuat dari kayu terbaik, atau pula kelangkaannya. Lemari-lemari itu adalah bentuk cinta seorang perempuan, yang sehari-hari mengasuh anak, menanti sang suami pulang bekerja. Ruang tamu yang dipenuhi oleh dua set kursi, bisa menampung sepuluh orang sekaligus, bisa duduk rapi di atas kursi. Di salah satu sisi dinding ruang tamu, satu keluaga dengan sepasang anak mantu, dan tiga anak lainnya, ditambah empat cucu yang lucu-lucu, tampak dalam sebuah bingkai besar yang diambil dua puluh enam tahun lalu. Diantara dua set kursi ada meja hitam kecil di atasnya satu pot bunga palsu dirangkai dengan cantik. Di rumah itu ada dua pot bunga palsu, yang beberapa bulan sekali dilepas, dicuci, dijemur, lalu dirangkai kembali.
Kolam ikan kecil sekaligus tempat penampungan air hujan sementara, serta dua petak tanah kecil yang ditumbuhi pohon nangka dan jambu yang selalu berbuah lebat, pohon nangka di sisi depan teras dan pohon jambu air di sisi kanan, bersebelahan langsung dengan kolam ikan, yang sesekali diisi dengan mujair, lele, atau ikan apapun. Tidak lupa, pot-pot tanaman hias mengelilingi dua pohon buah tersebut, jenisnya selalu berganti, mengikuti trend tanaman.
Rumah ini menjadi tempat singgah banyak sanak saudara, kebanyakan yang berasal dari daerah kelahiran sang pemilik, mungkin butuh untuk sekolah, berobat, mencari kerja, atau sekadar ingin berkunjung dan berlibur di ibukota provinsi. Biasanya mereka datang dengan membawa karung dan kardus berisi hasil panen, bisa beras, kopi yang masih berbentuk biji kering, cabai, dan berbagai macam sayur-mayur.
Hari-hari ramai akan tiba, sarapan dengan teh manis hangat, dan berbagai macam gorengan yang dibeli di tetangga dekat rumah. Obrolan-obrolan dengan bahasa daerah, mengenangkan satu persatu saudara atau tetangga, pembicaraan-pembicaraan serius. Tidak sedikit pula sanak saudara yang berkunjung untuk meminjam, entah uang entah emas simpanan, sesekali harus diikhlaskan untuk membantu.
Waktu berlalu, banyak sisi rumah yang dirombak, menyesuaikan keadaan dan kebutuhan. Ruang kecil yang penuh dengan tumpukan buku, dan barang-barang di dekat dapur, disulap menjadi kamar yang nyaman. Satu saringan air, yang memuat bebatuan, serabut, dll, dihilangkan, karena air pam sudah masuk. Sumur ditutup. Beberapa bagian rumah ditinggikan.
Penghuni rumah semakin tua, semakin dewasa, beberapa pergi, bahkan tak bisa kembali, begitu cepat. Hingga akhirnya, rumah dan lemari-lemari jati tidak terawat. Rusak di sana-sini. Terbengkalai bertahun-tahun, hingga akhirnya kabar itu ada, rumah sudah terjual. Bahkan lemari-lemari jati lebih dulu dijual.
Bukan hanya rumah, yang mungkin saja tak bisa lagi ditemui. Dilihat setiap sisinya, mungkin saja satu-dua kenangan akan memudar dan hilang. Tapi, semoga tidak, dengan hal-hal indah. Semoga si pemilik rumah, yang membangunnya dengan penuh cinta mengerti betapa anak-cucunya tak lagi kuasa menjaga cinta itu.
Comments
Post a Comment