Skip to main content

Baduy Dalam, Bumi Dipijak, Langit Dijunjung

Perjalanan ini sudah pernah aku rencanakan sejak 2019, saat akhirnya aku bekerja di seputaran ibukota. Ada banyak tempat yang ingin aku kunjungi, mulai dari yang dekat hingga wacana mengunjungi negara tetangga. Namun apa daya, saat keadaan mulai stabil, keuangan mulai tertata, dunia malah ambyar begitu cepatnya akibat sebuah virus.

Rencana Tuhan memang selalu ada-ada aja, rasanya terlalu malu jika sadar diri ini masih sering kali mengeluh. Hingga pertengahan 2021, aku kembali berdomisili di seputaran ibukota. Ya, diawali dengan positive covid dulu, setelah sembuh total, dan keadaan cukup membaik. Aku kembali menyusun, satu persatu rencana perjalanan agar Sabtu & Minggu tak begitu membosankan. 

Bermula dari ajakanku ke teman SD yang kebetulan berdomisili di Tangerang untuk ke Baduy atau jalan-jalan ke mana aja untuk menggerakkan badan. Tiba-tiba temanku sudah mendaftar di sebuah trip ke Baduy Dalam, walau sempat diundur dari jadwal awal karena keadaan terkait pandemi, akhirnya kami pun berangkat, dengan segala tantangan dan rintangan kecil. Hehe.


Pejalanan Menuju St. Rangkas Bitung

PPKM sudah diturunkan di level 3 saat itu, perjalanan dengan KRL boleh dilakukan menggunakan surat tugas, tapi jadwal KRL jadi lebih sedikit alias belum kembali normal. Menuju St. Rangkas Bitung, hanya ada di pagi dan sore hari. Jadwal itu sulit dikejar mengingat jam kerja dan lokasiku yang jauh... Dengan sedikit memutar otak, akhirnya aku mencicil perjalanan. Setelah berkutat dengan weekly report di Jumat sore, yang pada akhirnya membuatku pulang lepas magrib. Aku pun bergegas menyiapkan perlengkapan, menuju ke St. Depok Baru menuju St. Pondok Ranji, numpang di kosan Anita.

Ini adalah pengalaman pertama kali naik KRL setelah aku kembali ke seputaran ibukota, terlebih dengan keadaan pembatasan seperti saat ini. Perjalanan cukup panjang dengan beberapa kali transit, akhirnya aku sampai di kosan Anita. Bercerita dan melepas rindu, saling mengadu. Singkat, tidur, bangun, dan salat subuh. Mengejar KRL pukul 05:50 pagi.

Duduk manis, dan sampai di St. Rangkas Bitung. Stasiun yang cukup lenggang dan tenang. Mampir ke toilet untuk merapikan diri, lalu bertemu teman lama. Yang kusuka dari stasiun ini adanya peta yang menunjujan tempat wisata di Banten, mungkin di stasiun lain juga ada.. Tapi aku gak pernah ngeliat aja.

Bertemu dan Berkenalan dengan Teman Satu Trip

Ini pengalaman pertamaku mengikuti trip untuk jalan-jalan, biasanya ya berangkat aja bareng temen atau keluarga. Kami bertemu tak jauh dari St. Rangkas Bitung. Di sebuah pojok pasar yang dekat dengan parkiran. Satu persatu peserta trip datang, kami saling bertegur sapa singkat dan berkenalan. Setelah semua anggota trip dengan mepo St. Rangkas Bitung hadir semua, kami melanjutkan perjalanan menuju Kampung Cakuem, kami singgah di sebuah rumah yang memiliki warung kelontong, di sini kami makan siang dan beristirahat sebentar.

Setelah puas ngemil karena menemukan banyak jajanan kala kecil dulu, hehe. Kami melanjutkan perjalanan, melewati sawah, bertemu angsa, dan ayam. Jalanan yang dilalui adalah tanah cokelat dan bebatuan.

Selain dari pihak trip, kami juga ditemani langsung oleh Ayah Damin dan Aki Damin, sebagai masyarakat Baduy Dalam Ayah dan Aki, adalah ayah dan anak.

Perjalanan Panjang dan Hujan

Jujur... aku tak menyangka. HAHA. Bahwa perjalanan menuju Baduy Dalam ini lumayan banget banget. Aku kira jalur yang akan dilalui cukup landai, dan hanya dua hingga tiga jam. Tapi alhamdulillah, dalam lelah aku masih bisa menikmati perjalanan ini, ada beberapa kali waktu aku berjalan sendirian, terpisah dari rombongan, sebagian di depanku, sisanya ada di belakangku.


Kami beberapa kali singgah di rumah warga Baduy Luar untuk sekadar meluruskan kaki, memesan air minum, dan saling melempar canda. Aku sesekali mencoba mengajak bicara anak-anak, atau siapapun yang aku temui, seperti nenek pada gambar diatas. Nenek yang sudah sepuh dengan penuh semangat membersihkan Kencur, hasil panennya. Sayangnya karena keterbatasan bahasa, aku tak bisa bertukar banyak informasi.



Selain berhenti untuk istirahat, kami juga berhenti di tempat-tempat yang photoable. Perjalanan ini cukup banyak rest-nya. Menurutku cukup ramah untuk orang yang belum pernah tracking, asal sering jalan atau olahraga sebelmum berangkat.

Berjalanan menikmati alam, kehausan karena aku tidak membawa apa-apa, semuanya dibawain si Harry, hehe. Bertemu dengan aliran air yang jernih, tanpa babibu, langsung cuci tangan, wajah, dan minum! Seger bangetttt. 

Dalam trip ini kami diwajibkan membawa head lamp dan rain coat, jelas aja, saat mentari mulai menyinari bagian lain, gelap menyergap, perjalanan kami bertumpu pada cahaya lampu yang kami bawa. Sempat istirahat cukup lama karena menunggu rombongan di belakang, kami lepas bercerita dan bercanda.

Oh ya, tim kami harus terbagi karena salah satu peserta trip adalah WNA, yang tidak boleh menginap di Baduy Dalam. Jadi Bule dan Istrinya, bersama dua orang dari pihak trip memisah jalur, sedangkan kami meneruskan perjalanan menuju Baduy Dalam.

Dingin malam belum cukup, hujan pun mengguyur menemani perjalanan kami. Alhamduliilahnya kami semua membawa jas hujan yang siap digunakan. Kami bergantian saling membantu memasangkan jas hujan. Tubuhku mulai lelah, pencahayaan seadanya, dan medan jalan yang menanjak serta licin, membuatku harus ekstra hati-hati. 

Setiap langkahku, aku bertanya-tanya, kapan sampai... Lapar, tak sabar menyatap makan malam yang bahan makanannya dibawa oleh Abah dari Kampung Cakeum tadi.

Disambut Sunyi dan Dingin

Akhirnya, aku sampai di rumah Ayah Damin, dengan tubuh yang cukup lelah, dan pakaian yang setengah basah. Dingin begitu menusuk, sebelum diri ini dikuasai lelah, aku dan Kak Mega bergegas menuju sungai untuk membasuh diri. Berbekal arahan dan head lamp, kami berjalan berdua, melewati rumah masyarakat, berusaha untuk tidak menimbulkan suara.

Selesai berbersih kami salat, sambil menunggu teman lainnya sampai, dan istri ayah selesai memasak makan malam. Rumah Aki Damin sangat sederhana, hanya ada dapur yang tersekat, sisanya ruang lapang yang digunakan tidur, makan, duduk melingkar, rumah berbahan bambu yang saling berhadapan. Semua rumah masyarakat di sini nyaris sama.


Harta masyarakat Baduy Dalam bisa dilihat dari Leuitnya, seberapa banyak beras yang disimpan, seberapa luas sawah atau perkebunan yang dimiliki.

Setelah semua makanan matang dan anggota trip berkumpul, kami pun makan malam bersama, dengan nasi hangat, sepotong ayam, dan sayur asem. Rasa lapar bertemu dengan jodohnya, haha. Lepas makan, kami duduk melingkar, saling berkenalan, bercerita singkat tujuan mengikuti perjalanan ini.

"Oh begini ikut open trip, asik juga ya... Ada sesi saling mengenal."

Kami melepas tanya, tawa, juga kehangatan dalam pertemuan yang terbilang baru ini. Satu-persatu mulai tidur, saling berdampingan, di satu ruang yang sama.

Pagi Hari di Baduy Dalam

Hawa dingin seolah menjeratku, berkali-kali aku tidur lagi, karena rasanya aku belum sanggup menghadapi dingin pagiiii. Untuk memulai hari, kami diajak berkeliling kampung, melihat susunan rumah di Baduy Dalam, bertemu dan menyapa anak-anak. Sayang sekali semua ini tidak bisa diabadikan.

Setiap harinya, ada beberapa orang luar yang datang untuk menjualkan barang ke Baduy Dalam, seperti jajanan, sayur, dll. Para penjual membawa barang dagangannya dengan berjalan kaki ke Baduy Dalam, sama seperti kami kemarin. 

Beberapa remaja perempuan pun terlihat menggunakan riasan, tidak ada larangan. Ada dua larangan orang Baduy Dalam yang masih aku ingat, pertama tidak boleh menggunakan alas kaki dan tidak boleh menaiki kendaraan. Untuk dua hal ini masyarakat Baduy Dalam sangat disiplin, bahkan Aki Damin, kerap mengunjungi temannya di Jakarta, dengan berjalan kaki berhari-hari, dan tanpa alas kaki.

Banyak hal yang membuatku terkesan, kagum, tapi juga ada kegetiran. Aturan adat yang tidak mengizinkan anak-anak sekolah salah satunya.

Setelah berkeliling, kami kembali ke rumah Aki Damin untuk sarapan dan persiapan pulang. Melewati jalur yang berbeda dari saat pergi, aku berharap perjalanan tak begitu terjal.

Terpisah dan Menunggu

Seperti saat pergi, dalam perjalanan pulang ini pun kami terpisah menjadi dua kelompok. Aku berada di kelompok depan, karena ada persimpangan, dan takut teman-teman di belakang salah jalur, kami pun duduk menunggu agar bisa melanjutkan perjalanan bersama. Namun, lama menunggu, udah makan duren, cerita ini-itu, sampai salah satu pihak trip menyusuri jalan ke rute sebelumnya, tidak ditemukan teman-teman lainnya.



Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, melewati beberapa kampung, melihat hajatan khas Baduy Luar, dan melewati kampung yang memang sudah menjadi pusat wisata. Banyak sekali pengunjung dari luar yang sekadar singgah untuk membeli buah tangan khas Baduy, atau memakan durian.

Di Baduy Luar aku juga melihat seorang nenek yang sedang menenun, menyatukan benang demi benang.. 


Baduy menjadi sebuah energi baru untuk kita yang selalu terpapar, hingga bingung sampai enggan membedakan mana yang bisa diserap, mana yang kita tahu tak baik untuk diri. Masyarakat Baduy mengajarkan kesederhanaan, dan kepatuhan. 

Kembali menjadi dilema, saat budaya harus lestari tanpa campur tangan ilmu pengetahuan yang terus berkembang, bahkan mengenyampingkan hak-hak individu yang real. Oh ya, orang Baduy Dalam bisa kok mengajukan diri untuk menjadi masyarakat biasa, atau masyarakat luar Baduy seperti kita, walau prosesnya gak singkat. Setidaknya, aku masih melihat, bahwa siapapun bisa menjadi apapun. Dunia memang harus, penuh dengan pilihan.

Bumi Dipijak, Langit Dijunjung

Banyak sekali hal yang bisa dipelajari melalui sebuah perjalanan, semua berawal dari keinginan, apakah kita mau untuk cuek aja, atau kita memilih untuk sedikit melihat, mendengar, dan menyambungkan titik-titik informasi. Bahkan bagiku, saat menaiki kendaraan umun seperti bus, angkot, atau KRL pun kita bisa melihat ribuan kehidupan, perjuangan, juga ketimpangan.

Perjalanan demi perjalanan yang kulalui pada akhirnya kembali mengajakku untuk lebih mengasah asih yang ada dalam diri ini, dan memilih tempat sepantas-pantasnya untukku menempatkan diri.

Teman-teman, doakan aku ya! Agar 2022, lebih banyak menulis, aamiin.
Hai! Salam kenal dariku ya. Rumi yang secara acak terkadang menulis, entah saat luang ataupun sibuk.

Comments