Skip to main content

1 Januari 2016

            Pedih memang kehidupan ini, gemerlap cahaya yang membias, mengabu dilangit yang tak lagi hitam pekat. Redup, nyala campuran bahan kimia berlomba mewarnai lalu meninggalkan kesan yang hampa. Iya, ada kehampaan dihati ini. Entahlah, aku sangsi dengan dentam-dentum suara dilangit ataupun orgen yang tak jauh dari tempatku berdiri. Aku diam memandangi langit. Beberapa teman mulai bersorak saling memberi selamat. I keep my hands. Aku merasakan kehancuran. Kehampaan. Dalam diam, aku berusaha mengeja apa yang sebenarnya bergantung menari-nari dipikiranku. Aku ingin tau, siapa aku ini, untuk apa aku ini. Tanpa sadar terlintas dan dengan sadar aku sangat ingin mewujudkannya.

“Suatu saat, secepatnya, mungkin tahun depan. Aku sudah mulai meninggalkan gemerlap dunia ini. Aku ingin sederhana, aku ingin bersahaja. Aku ingin adil, sejak dalam pikiran.”

Setelah aku menulis kalimat diatas, hatiku kembali bertanya.

“Gemerlap? Meninggalkan? Mampukah?”

Aku ingin mengabdi untuk bangsa ini, aku ingin hidup dengan mereka yang penuh semangat. Yang selalu akan menungguku. Ah, khayal ini. Maklum, baru saja nonton film Di Timur Matahari, Aku mungkin bisa meninggalkan “cita” demi cita-cita tapi untuk meninggalkan cinta demi cita-cita. Aku tak sehebat itu.

“Tinggalkan Ayah, Tinggalkan Ibu
Izinkan kami pergi berjuang
Dibawah kibaran sang merah putih”

Semoga salah satu cita-cita menjadi Pengajar Muda bisa terwujud, meski butuh waktu dan butuh banyak pengorbanan.

“Kuliah rum, kuliah lagi.”

Setinggi apapun itu dan #akumahapa saat ini, cita-cita harus berani diucapkan. Ditanamkan dalam hati, mungkin ditulis. Karena pasti ada hati yang juga tak henti mendoakan.
Hai! Salam kenal dariku ya. Rumi yang secara acak terkadang menulis, entah saat luang ataupun sibuk.

Comments